Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pengalaman Mengikuti Lomba Ansambel Musik Tingkat Karisiden/Kotamadya

Kronologibayu-  Cerita kali ini adalah Pengalaman Mengikuti Lomba Ansambel Musik Tingkat Karisiden/Kotamadya. Cerita ini merupakan lanjutan dari cerita sebelumnya yaitu Pengalaman Mengikuti Lomba Ansambel Musik Tingkat Kabupaten. Baiklah bagaimana cerita lomba di tingkat Karisiden ini, selengkapnya di bawah ini : 

Waktu yang hanya beberapa minggu kedepan kami maksimalkan untuk berlatih kembali. Latihan di waktu yang tak terlalu lama tersebut kami maksudkan untuk meningkatkan performa serta memantapkan kekompakan dalam penampilan. Latihan dan evaluasi terus kami lakukan. Kami sadar semakin tinggi tingkatan lomba maka semakin berat pula kompetitor yang akan kami hadapi.

-Hari Penghakiman di tingkat Karisiden-

Akhirnya Hari Penghakiman di tingkat Karisidenan pun tiba. Peserta yang akan berkompetisi di tingkat Karisidenan ini berjumlah tujuh grup, mereka adalah wakil dari tiap-tiap kabupaten se-karisidenan Surakarta. Pelaksanaan lomba akan di gelar di salah satu gedung milik STSI Surakarta (Sekarang menjadi ISI Surakarta).

Doa dan pelepasan dilakukan oleh pihak sekolah  sebelum menuju arena perlombaan. Bak tentara  tempur yang hendak pergi ke medan perang, kami dan guru pembimbing berbaris rapi dalam ceremony kecil pagi itu. Ceremoni singkat yang dipimpin kepala sekolah ketika itu bertujuan untuk memberi dukungan moril kepada kami.

Inti daripada apa yang disampaikan kepala sekolah adalah harapan semoga kami mampu tampil baik dan lancar.  Setelah ceremoni pelepasan usai, maka kami segera bergegas berangkat ke arena lomba yaitu di salah satu gedung milik STSI Surakarta.

Gedung perlombaan tersebut terletak di area paling selatan STSI, sehingga sopir yang mengantar kami memilih lewat jalan kecil yang berada di barat TBJT (taman budaya jawa tengah). Jalan tersebut dirasa lebih efektif daripada kami melalui gerbang utama yang harus memutar arah agak jauh ke utara.

cerita Pengalaman Mengikuti Lomba Ansambel Musik Tingkat Karisiden Kotamadya, Lomba musik smp di karisidenan surakarta.

Tiba di arena lomba

Setelah sekitar 50 menit menempuh perjalanan, akhirnya kami tiba  di arena lomba. Tak butuh waktu lama, kami pun langsung tune in dengan atmosfir di tempat itu. Dari absensi kedatangan hingga mengecek kesiapan alat musik telah kami lakukan. 

Dalam kesempatan kali ini kami mendapat nomor urut tampil pertama. Ya, bagaikan surprise di pagi itu, hasil undian telah mengantar kami sebagai pemulai dalam Battle Ansambel musik tingkat karisidenan.

Mendapat nomor pertama sebagai penampil, membuat saya sempat terkejut sesaat. Mungkin itu sifat manusiawi yang menghinggapi diri saya selama beberapa menit sebelum tampil.  Namun, saya tidak mau rasa keterkejutan tersebut mengganggu penampilan saya. 

Dalam upaya menenangkan diri, saya mencoba menatap wajah rekan satu tim, nampak jelas tak terbersit sedikit pun rasa gentar di wajah mereka. Ketenangan yang ada dalam diri teman-teman tersebut telah membuat saya semakin tenang dan mantap untuk memulai tantangan sebagai penampil pertama. Saya pun mencoba tenang menguasai keadaan. Saya tidak mau mengecewakan rekan satu tim.

Waktu yang dinanti pun tiba. Dengan langkah mantap kami memasuki ruang pertempuran yang sunyi dari hingar-bingar penonton pada saat itu.

(?) Kenapa tidak ada penonton? Apakah mereka tidak mau melihat perfom kami?. Tidak adanya penonton pada saat itu karena memang sudah menjadi kesepakatan penyelenggara untuk tidak memasukan penonton ke dalam gedung penyelenggaraan.  Nampaknya panitia penyelenggara ingin menghadapkan peserta langsung kepada juri dalam situasi yang lebih intim. Kondisi semacam ini untuk semakin memudahkan juri dalam menilai para peserta.

(?) Apakah ini bukan kesempatan untuk bisa bermain dengan tenang tanpa adanya penonton? Memang tekanan dari penonton tidak ada, namun jangan meremehkan kondisi seperti itu. Justru tekanan untuk bermain dengan baik sangat dituntut dalam keadaan seperti itu. Dengan keadaan sunyi tanpa penonton membuat juri semakin peka dengan komposisi musik yang kami mainkan.

Sedikit saja kami keseleo dalam nada yang kami mainkan, juri akan dengan mudah mengetahuinya.  Apalagi sebagai penampil pertama, pasti kami akan diperhatikan juri secara lebih. Keadaan demi keadaan semacam itu telah membuat kami berusaha memainkan sebaik mungkin alunan musik yang kami sajikan.

Detik-detik pertempuran kami pun dimulai. Sang Konduktor pun memulai hitungan dengan jarinya yang lentik…. 1…….… 2……….. 3………  Mulai lah alunan musik dari kami.

Lagu demi lagu kami mainkan.  Aransemen dari guru telah kami bawakan dengan semaksimal yang kami mampu. Nada demi nada kami lantunkan.  Setelah beberapa menit melawan sunyinya atmosfir penjurian, akhirnya penampilan kami selesai. Puji Syukur kami dapat melalui ujian tersebut dengan tenang dan mantap tanpa halangan.

Istirahat sejenak sembari menikmati snack ringan adalah kegiatan yang kami lakukan setelah bertarung melawan dinginya atmosfir pertarungan. Canda tawa ringan menyertai suasana santai kala itu. Gojekan (canda) pun tak terelakan diantara kami, maklum kami sudah merasa seperti suatu keluarga sendiri . Waktu istirahat ini juga kami maksudkan untuk menunggu penampilan demi penampilan dari peserta lain hingga selesainya acara.

Dalam jeda istirahat menunggu pengumuman juara lomba, kami mendapatkan sebuah pengalaman yang kurang mengenakkan. Kami mendapat ejekan dari salah satu anggota grup Ansambel lain. Kalau tidak salah adalah grup dari tuan rumah. Dengan nada ejek dia pun melancarkan kata-kata bernada sumbang kepada kami

Halah cah jumantono e kog !!

Itu adalah kata-kata yang masih terkenang dalam benak saya dan beberapa teman yang tergabung dalam grup Ansambel kami.   Melalui ejekan tersebut seolah-olah dia menyampaikan pesan kepada kami bahwa “cah ndeso opo iso menang?” ( anak desa apa bisa menang ? ).

Entah apa motivasi yang dia maksudkan, padahal tidak ada rasa sok hebat atau sok jago pada diri kami.  Kami datang dari daerah dengan kesederhanaan dan penuh kedamaian. Tak ada yang kami sombongkan dari daerah yang kami wakili, hanya rasa sportifitaslah yang kami bawa ke arena lomba pada waktu itu.

Mungkin ejekan tersebut dilancarkan kepada kami lantaran kami berasal dari desa, atau  mungkin anak yang mengejek kami itu pernah berkunjung ke daerah kami sehingga dia melihat langsung suasana kampung kami. 

Memang harus kami akui bahwa kami berasal  dari  kecamatan yang sedang berbenah. Di tahun pada saat itu memang masih banyak infrastruktur jalan yang masih harus diperbaiki. Banyak fasilitas-fasilitas penting belum dibangun.

Bahkan terkadang tak sedikit juga yang menyebut daerah kami pelosok pada saat itu.  Jika dikatan pelosok, sebenarnya juga tidak begitu pelosok yang jauh dari pusat kota, lantaran kecamatan saya hanya berjarak sekitar 10 menit dari pusat kota.

Seiring berjalanya waktu daerah yang saya tinggali ini mulai berbenah dan berbenah. Infrastruktur demi infrastruktur mulai dibangun dan diperbaiki. Saya rasa stigma pelosok atau nDeso (dalam artian desa/kecamatan/daerah tertinggal) sudah sepenuhnya tidak relevan dengan kondisi saat ini.  

Kembali ke benang merah cerita . . .

Detak jarum jam terus bergulir. Penampilan demi penampilan telah tersaji, Maka tibalah saatnya pada acara pamungkas yaitu pengumuman lomba. Semua peserta beharap-harap cemas menunggu grup manakah yang mampu menjadi juara satu sekaligus menjadi wakil karisidenan untuk maju ke tingkat Provinsi.

Tak lama kemudian, dewan juri memegang microphone nya. Melalui alat pengeras suara itu, dewan juri segera menghembuskan kabar siapa yang akan menjadi juara lomba di tingkat karisidenan. Satu persatu juara lomba di umumkan.

Juara Harapan 1
…………. (bukan smp kami)
Juara Tiga …………………. (bukan smp kami)

Mendengar hingga juara ketiga bukan sekolah kami, kami pun semakin kehilangan asa untuk berharap menjadi salah satu juara pada lomba kali ini. 

Kemudian juara kedua pun diumumkan,   Juara Dua ……………… ( bukan smp kami)

Mendengar  fakta bahwa nama sekolah kami yang tak kunjung disebut hingga posisi juara dua, Saya dan teman-teman semakin yakin dan pasrah nampaknya kami tidak mampu menjadi salah satu juara pada perhelatan lomba Ansambel musik di tingkat karisidenan ini.

Dalam kondisi ini terlihat jelas di wajah rekan-rekan saya, mimik  muka mereka terlihat flat.  Boleh di kata, kami sudah tak punya harapan lagi untuk menyabet salah satu posisi juara pada lomba ketika itu.

Tak lama kemudian,. Satu atau dua teman yang masih berada di luar mobil lalu menyusul saya dan sebagian besar teman lain yang terlebih dahulu berada di dalam mobil. Masuknya mereka ke dalam mobil seolah telah mengabarkan kepada kami,  “Usai sudah petualangan kita kawan”.  ya, itulah perumpamaan yang nampaknya tepat untuk mengakhiri pertarungan di hari itu. 

Setelah Juara 2 di umumkan, maka tinggalah satu posisi juara lagi yang tersisa yaitu Juara Pertama. Ditengah hilangnya harapan kami ini, Juara Pertama pun di umumkan……>>>>>>

Juara Pertama ….… SMP Negeri 1 Jumantono…!!


Benar, itu adalah nama sekolah kami. Seketika itu juga pecahlah kegembiraan diantara kami semua. Suasana yang sebelumnya hening, kini berubah menjadi riuh rendah penuh rasa suka cita.

Jujur kami akui, ekspresi kegembiraan dan luapan emosi kebahagiaan tak mampu kami tutupi. Bahkan beberapa  diantara kami ada yang berteriak kencang di dalam mobil. Teriakan tersebut tidak lain adalah bentuk luapan emosi kegemberiaan yang tak kuasa terbendung.

Bagi saya pribadi, kabar pengumuman Juara Pertama kala itu saya perumpamakan,  “Bagai mendapati suara petir yang menggelegar di siang bolong”. Mungkin kata tersebut terdengar lebay, namun saya rasa itulah kata yang tepat untuk menggambarkan keadaan pada waktu itu.

Bagaikan Suara Petir,  kabar pengumuman tersebut mampu memecahkan keheningan di kala kami telah tertunduk lunglai tanpa harap. Tak terbersit sedikit pun sebelumnya dalam benak saya untuk bisa menggenggam Juara Pertama pada perhelatan lomba di tingkat karisidenan ini.

Tidak ada mimpi atau firasat sebelumnya untuk menang dalam perlombaan.  Meskipun demikian, Saya pun tidak menampik atas kemenangan yang kami peroleh saat itu. Mungkin ini adalah jawaban Tuhan atas doa dan usaha yang telah kami lakukan.  Terima kasih Tuhan !

Kemenangan yang kami peroleh di tingkat karisidenan ini seolah berpesan bahwa:
Kemenangan dpt diraih oleh siapa saja yang mau bekerja keras.  Kemenangan tdk ditentukan dari tempat kita berasal
Dengan kemenangan ini, maka petualangan lomba ansambel musik saya berlanjut ke tingkat Provinsi >>

Post a Comment for "Pengalaman Mengikuti Lomba Ansambel Musik Tingkat Karisiden/Kotamadya"